- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
ANDJING NICA – Antek Belanda (Bagian 1)
A. Pendahuluan.
"Masa Bersiap"
adalah masa yang begitu mencekam bagi orang-orang Belanda, Indo-Belanda, juga
orang Indonesia yang dianggap pro-Belanda. Nyawa mereka terancam oleh serangan
membabi - buta dari pengacau-pengacau yang mengaku diri pro - Republik.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang begitu benci pada apapun yang berbau
Belanda. Orang-orang yang terkait dengan Belanda pun dicap sebagai "Andjing NICA."
Pengacau-pengacau revolusi Indonesia itu belum apa-apa sudah sukses menakuti
orang-orang Belanda yang baru bebas dari kamp tawanan Jepang. Baru saja keluar
kandang buaya, mereka terancam diterkam harimau.
“Cap
Andjing NICA tidak pandang bulu, cuma uji nasib. Malah orang - orang Indonesia
asli tidak jarang yang dicap sebagai mata - mata Belanda,”
tulis Kwee Thiam Tjing di Indonesia Raya 15-17 Agustus 1972, seperti
dimuat dalam buku Menjadi Tjamboek
Berdoeri : Memoir Kwee Thiam Tjing (2010).
NICA
merupakan singkatan dari Nederlandsche Indische Civil Administration, sebuah
pemerintah sipil Hindia Belanda sementara yang dibentuk di Australia. Dalam
pembacaan sejarah orang - orang Indonesia, NICA bisa berarti juga sebagai Tentara Belanda. Segala hal berbau
Belanda di mata orang - orang Indonesia tahun 1945-1949 layak disebut NICA.
Dan, semua pendukungnya adalah Andjing NICA. Nama Andjing NICA itupun
disematkan pada unit militer bekas tawanan perang di Bandung.
Menurut
pelaku sejarah RHA Saleh dalam
bukunya Mari Bung Rebut
Kembali (2000)
, orang - orang yang jadi korban Masa Bersiap itu begitu
dendam. Mereka pun bertempur, membalas dengan bertindak beringas terhadap
kombatan pejuang Indonesia. Mantan perwira Belanda yang jadi ajudan
Jenderal Spoor, Rob Smulders,
dalam Een Stem Uit het Veld:
Herenneringen van de Ritmeester Adjudant van General SH Spoor (1988),
seperti dikutip Gert Oostindie dalam
buku Serdadu Belanda di
Indonesia (2016), memuji batalyon ini.
“Andjing NICA ini, menempatkan
dirinya melawan kelompok Bersiap dan menyelamatkan, melindungi dan membebaskan
para tawanan yang seringkali tak berdaya [….] Mungkin tidak ada kesatuan sebaik
Andjing NICA yang bisa memahami kebenaran luar biasa dan metode kejam dari para
gerilyawan dan kemudian menemukan jawabannya dengan membentuk kontragerilya.”
Gert
Oostindie dalam bukunya menyebut adanya pembantaian alias eksekusi tanpa
pengadilan kepada 5 orang warga kampung Jawa Balapulang oleh pasukan Andjing
NICA dengan alasan kelima warga tersebut telah membantai 18 orang Indo dengan
kejam pada 1946.
Dalam
buku Het Andjing NICA
Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988)
, yang ditulis Sjoerd Albert Lapre dan kawan-kawan,
kisah pembantaian itu tak disebut. Lapre juga mantan perwira batalyon tersebut
di masa revolusi.
Menurut catatan
buku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988), batalyon ini
terbentuk pada 2 Desember 1945. Semula, ia berbasis di Bandung di bawah komando
Brigade W. Pendidikan dan perekrutan
batalyon ini dipimpin oleh mantan Kapten
KNIL J.C. Pasqua. Seperti personel awal Andjing NICA, Pasqua juga bekas
tawanan perang di masa pendudukan Jepang. Batalyon ini dibentuk di gedung bekas
Koninklijk Militaire Academie (KMA) Bandung.
Sejak
23 Desember 1945 hingga 18 Januari 1946, kekuatannya terbangun di sekitar
Bandung dan Cimahi. Hingga Juni 1946, batalyon ini sudah punya kekuatan 4
kompi. Tiap kompi punya ciri
masing-masing dan masih rasis, yaitu :
1. Kompi
Eropa dengan dasi hijau,
2. Kompi
Ambon dengan dasi merah,
3. Kompi
Timor dengan warna hitam, dan
4. kompi
campuran dengan warna biru.
Lambang
batalyon dirancang oleh E.C.E. Amade,
dengan gambar “Anjing Merah Menyalak”.
Menurut
RHA Saleh, personelnya sering mencoreti seragam tempur mereka dengan tulisan:
Andjing NICA.
Menurut catatan Lapre, masing –
masing memiliki pimpinan, yaitu :
1. Komandan
Batalyon adalah Letnan Kolonel Aldus
Pieter van Santen.
2. Kompi
keempat dipimpin Letnan Maximilian Nutter,
3. Kompi
ketiga oleh Kapten Thijs Nanlohy,
4. Kompi
kedua Letnan C.I. Trieling
5. Kompi
pertama oleh Lapre.
Di
masa revolusi, pasukan bernama Andjing NICA yang tercatat sebagai Batalyon Infanteri V KNIL itu jadi
andalan Tentara Belanda.
B.
Keberingasan
Batalyon Andjing NICA.
Batalyon
Andjing NICA tak kalah beringas dibanding Batalyon KNIL di Jakarta yang bermarkas
di bekas tangsi Batalyon X. Setelah Agresi Militer Belanda pertama pada Juli
1947, pasukan ini berpindah - pindah posisi. Dari Bandung, ia bergerak ke
Cirebon melewati Sumedang. Setelah itu, ia bergerak ke Purbalingga, Purwokerto,
lalu ke Gombong. Di Gombong, pasukan Andjing NICA disebar ke beberapa
tempat.
1. Kompi
pertama di Kroya,
2. Kompi
kedua di Sumpiuh,
3. Kompi
ketiga di Benteng Gombong dan
4. Kompi
keempat di sisi timur Gombong.
Mereka
agak lama di sekitar Gombong. Foto-foto dalam buku Het Andjing NICA
Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie memperlihatkan pasukan ini melakukan
parade militer dan sempat menghadapi masa damai di Gombong. Mereka baru
bergerak dan bertempur lagi ketika pecahnya Agresi Militer Belanda II. Pasukan
ini mendukung gerakan pasukan Brigade T ke Magelang pada 19 Desember 1948.
Pasukan ini menghadapi pertempuran-pertempuran sengit yang membuat mereka
kehilangan banyak personel pada 1949.
Di
Mlasen, serdadu kelas dua dari suku Sunda bernama Djenel terbunuh di pada 11
Januari 1949. Enam hari kemudian, di Dawukan, Banyumas, menyusul Kopral Eropa
bernama J. Brinkman juga terbunuh. Di Krangggan, Kopral Ambon A.
Matitanatiwen juga tewas. Korban paling banyak di Purworejo. Pada 13 Maret
1949, mereka kehilangan serdadu-serdadunya: Ikim orang Sunda, Bintang
orang Manado, Usmani asal Manado, A. Noya dari
Ambon, Samad orang Jawa, Hiariej asal Ambon, Kaawoan asal
Manado, Joeseoef bin Kembang orang Sunda, E. Seipatttiratu asal
Ambon, H Newaoema asal Timor, Ene orang Sunda, dan K. Moningka
asal Manado.
Pangkat
semua serdadu-serdadu keturunan Indonesia itu adalah serdadu kelas dua. Tentu
saja puluhan serdadu Andjing NICA banyak yang terluka di awal tahun 1949.
C.
Anjing
NICA Pasca Agresi Militer 2.
Setelah
agresi militer Belanda kedua, Batalyon Andjing NICA bertahan di sekitar
Magelang. Anggotanya disebar juga ke Muntilan, Salaman, Parakan, dan
Temanggung.
Bulan
Desember 1949, mereka mendapat perintah baru agar pindah dari Magelang. Mereka
diberangkatkan dengan kapal Waibolang ke Kalimantan Timur melalui
Semarang. Setelah van Santen
diganti Major van Loon, sialnya van
Loon malah cedera karena jipnya di Semarang menabrak pohon. Perwira paling
senior di Andjing NICA, Kapten
Schlosmacher, pun harus memimpin batalyon ini. Ketika mereka tiba di Balikpapan,
pasukan ini mengalami kekurangan perwira. Akhirnya, seorang perwira dari
batalyon XIV, Letnan HC Toorop, pun
diperbantukan.
Meski
basisnya di Balikpapan, kompi - kompinya dikirim hingga jauh sekali ke luar
kota. Wilayah paling dekat adalah Sepinggan dan Samboja. Ada yang
ditugaskan di Samarinda, sedangkan yang terjauh adalah Tarakan.
Sesuai
kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Belanda 1949, serdadu-serdadu dari
Batalyon Andjing NICA pun diberi pilihan untuk bergabung dengan ikut ke Belanda
atau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tak
semua KNIL bisa menerima berganti tuan, dari Ratu Belanda ke Pemerintah
Republik yang sebelumnya jadi musuh mereka. Dari Batalyon Andjing NICA
sendiri, kemudian ada kelompok yang akhirnya bersedia masuk APRIS. Yang paling
populer di antara mereka adalah bekas Kopral Smit, yang ketika masuk APRIS
pangkatnya Letnan. Setelah 26 Juli 1950, KNIL dinyatakan bubar, maka secara
otomatis riwayat Andjing NICA pun berakhir.
Comments
Post a Comment