30 Oktober sebagai Hari Uang Republik Indonesia
30 Oktober sebagai Hari Uang Republik Indonesia
A. Pendahuluan.
“Besok
tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah
air kita, rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar uang
republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul
12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang
sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu ikut pula tidak berlaku
uang De Javasche Bank. Dengan tutupnya suatu masa dalam sejarah keuangan
Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi
rakyat kita. Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri,
uang yang dikeluarkan oleh republik kita.”
Itulah
potongan pidato Mohammad Hatta melalui RRI Yogyakarta 29 Oktober 1946 pukul
20.00, yang menjadi gong dimulainya titik bersejarah ketika Oeang Rupublik Indonesia (ORI) emisi
pertama yang kini bernama rupiah resmi mulai berlaku 30 Oktober 1946.
Hari
ini, genap 71 tahun yang diperingati sebagai Hari Oeang. Peringatan Hari Oeang
tahun ini memang agak berbeda, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres)
No 31 tahun 2016 tentang penetapan soal gambar pahlawan nasional sebagai
tampilan utama pada bagian depan rupiah kertas dan rupiah logam
NKRI baru yang telah beredar. Keppres ini merupakan turunan dari UU No
7 Tahun 2011 tentang mata uang yang mengatur gambar utama pada bagian depan rupiah
adalah pahlawan nasional dan atau presiden, pasal lain juga mengatur bahwa
rupiah tidak memuat gambar orang yang masih hidup.
“Sebagai
salah satu bentuk penghargaan kepada Pahlawan Nasional,”
jelas Presiden Jokowi dalam pertimbangannya pada Keppres yang ditetapkan 5
September 2016.
Setelah
keputusan pemerintah, Bank Indonesia (BI) sudah mengedarkan 11 uang baru yang menampilkan
12 pahlawan nasional yang targetnya diluncurkan tahun 2016. Sebanyak 7
pecahan dalam bentuk uang kertas, sisanya 4 pecahan dalam bentuk logam. Dari 12
pahlawan yang masuk daftar, 10 merupakan wajah baru dalam gambar uang rupiah. Dari
beberapa pahlawan nasional itu, ada nama-nama dari pulau asal kelahiran mereka
yang selama ini belum terakomodir, seperti Pulau Timor (Rote), dan Papua.
Uang baru tak hanya sebagai alat pembayaran dan kedaulatan ekonomi, tapi
sebagai bagian dari sikap politik terhadap penjajahan seperti yang disampaikan
Hatta 71 tahun lalu. Uang baru juga bagian dari politik keterwakilan untuk
merajut kesatuan Indonesia.
Ada
beberapa catatan yang menarik dalam uang emisi terbaru yang telah beredar itu, selain
menampilkan 10 sosok baru pahlawan nasional Indonesia. Uang keluaran baru
juga menampilkan keragaman asal pulau para tokoh-tokoh pahlawan yang
merepresentasikan politik keterwakilan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam
UU No 7 Tahun 2011, Pasal 7 Ayat 3, menyebutkan bahwa gambar pahlawan nasional
dan/atau presiden ditetapkan dengan Keppres atau jadi kewenangan presiden
langsung. Bukti politik keterwakilan ini dapat dilihat dari daftar nama pahlawan
yang telah ditetapkan, diantaranya :
1. Soekarno
dan Mohammad Hatta mewakili masyarakat Jawa dan Sumatera.
2. Djuanda
Kartawidjaja yang mewakili Jawa Barat.
3. G.S.S.J.
Ratulangi mewakili Sulawesi Utara.
4. Frans
Kaisiepo muncul di uang baru mewakili Papua.
5. Idham
Chalid mewakili Masyarakat Kalimantan.
6. Mohammad
Hoesni Thamrin mewakili Ibu kota
Indonesia, Jakarta.
7. Tjut
Meutiah sebagai gambar depan rupiah baru mewakili Aceh. Aceh adalah daerah yang
relatif para pahlawannya sudah banyak muncul dalam gambar uang.
8. I
Gusti Ketut Pudja mewakili Bali
9. TB
Simatupang mewakili Sumatera Utara,
10. Tjiptomangunkusumo
mewakili Jawa Tengah, dan
11. Herman
Johanes mewakili Rote, Nusa Tenggara Timur.
12. Pattimura
yang mewakili Maluku, ada di pecahan uang kertas Rp1.000.
Pertanyaannya,
mengapa Soekarno dan Hatta tampil lagi dalam uang pecahan Rp100.000 sebagai
pecahan terbesar, atau Djuanda untuk pecahan Rp50.000, atau Herman Johanes
untuk pecahan uang logam Rp100 ?. Presiden Jokowi lah yang paling tahu
jawabannya. Namun, bila mengacu pada kaidah keterwakilan yang cenderung
mengakomodir prinsip proporsional, maka mengaitkan politik keterwakilan dengan
jumlah penduduk masing-masing pulau cukup beralasan.
Data
sensus penduduk 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) - (Sensus Penduduk Dilakukan setiap 10 Tahun Sekali -), Pulau Jawa dan
Sumatera memang dua pulau besar dengan penduduk terbanyak di Indonesia,
masing-masing Sumatera 50 juta jiwa lebih, dan Jawa sekitar 136 juta jiwa,
keduanya mengambil porsi 78 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu,
kedua orang itu juga sebagai pendiri negara. Jawa Barat yang berpenduduk 43
juta jiwa lebih merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak di indonesia, jadi
tak heran mewakili mata uang rupiah dengan pecahan nominal besar Rp50.000. Selain
itu, Sulawesi yang penduduknya sekitar 16 juta jiwa, masih sangat wajar
wakilnya menghiasi pecahan Rp20.000, sedangkan Papua yang total
penduduknya sekitar 3,5 juta jiwa, sosok Frans Kaisiepo menghiasi uang
pecahan Rp10.000.
Politik
keterwakilan dalam mata uang rupiah memang relatif masih baru. Berdasarkan
perjalanan desain rupiah di Indonesia, gambar tokoh - tokoh pahlawan pada uang
belum semasif saat ini, karena terkait regulasi pada masa lalu dan pemerintah
yang berkuasa. Pada masa ORI misalnya, sejak 1945 hingga 1951 wajah Presiden
Soekarno sering menghiasi gambar utama dalam mata uang. Baru pada 1952,
wajah RA Kartini muncul dalam uang Rp5, sebagai wajah wanita pertama yang
ditampilkan dalam mata uang rupiah. Pada 1958, wajah Jenderal Soedirman muncul
dalam uang kertas pecahan Rp5, pada waktu itu Soedirman belum berstatus sebagai
pahlawan nasional, penetapannya baru terjadi pada 1964. Wajah
Soedirman kembali nampak di pecahan Rp1 dan Rp5.000, setelah berselang
empat tahun ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Ini juga terjadi dengan
Pangeran Diponegoro yang wajahnya menghiasi uang lembaran Rp1.000 pada 1977,
setelah empat tahun ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Setelah itu ada
pahlawan nasional Teuku Umar dalam pecahan Rp5.000 pada tahun 1986.
Nama-nama lainnya ada Sisingamangaraja pada uang Rp1.000 keluaran 1987. Sultan
Hamungkubuwono IX pada pecahan Rp10.000 di tahun 1992. Nama lainnya ada Cut
Nyak Dien, Ki Hadjar Dewantoro, WR Supratman, Imam Bonjol, Otto Iskandar Dinata,
Sultan Mahmud Badaruddin II, I Gusti Ngurah Rai, dan Pangeran
Antasari juga hadir di gambar rupiah.
Menetapkan
sosok yang menjadi gambar dalam uang merupakan hak presiden. Munculnya tokoh
pahlawan nasional di mata uang bisa jadi bakal mendorong kebanggaan masyarakat
seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang wakilnya baru muncul di
tahun 2016. Apalagi dua daerah ini masih punya pekerjaan rumah soal rupiah yang
belum berdaulat di kawasan perbatasan dengan negara lain. Saat ini,
pemilihan pahlawan pada gambar uang rupiah tak bisa terpisahkan dari politik
keterwakilan wilayah, gender dan lainnya. Namun, perlu ingat juga ada
aspek kesejarahan yang juga bisa dipertimbangkan, seperti peranan para menteri
keuangan era pertama antara lain A.A Maramis, atau pahlawan nasional yang
juga mantan menteri keuangan Sjafruddin Prawiranegara, mereka berperan terhadap
kelahiran ORI hingga menjadi rupiah yang telah menyatukan NKRI sudah 71 tahun lamanya. "Uang Bukan Segalanya, Tapi Uang Memudahkan Sesuatu".
Selamat Hari Oeang !.
Comments
Post a Comment