- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Mengenal Sosok Wage Rudolf Soepratman
A. Pendahuluan.
Demi
keamanan dan kelancaran acara, tidak ada lirik yang ditembangkan, apalagi
dilafalkan bersama-sama. Nada-nada yang terangkai hanya berupa instrumental
dengan gesekan biola saja. Walau begitu, semua yang hadir di situ sudah sangat
paham bahwa inilah nantinya yang akan menjadi lagu kebangsaan jika Indonesia
merdeka. Pria penggesek dawai itu bernama Wage Rudolf Soepratman. Ia
memperdengarkan alunan “Indonesia Raya” pada malam
penutupan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Kongres inilah
yang menghasilkan rumusan Sumpah Pemuda, ikrar setia untuk bertanah air,
berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia, kendati masih di bawah cengkeraman
rezim kolonial. Itulah pertama kalinya “Indonesia Raya” diperkenalkan
meskipun tanpa syair. Atas saran
Soegondo Djojopuspito selaku pemimpin kongres, lirik lagu itu sengaja disimpan karena memuat materi yang berpotensi menimbulkan perkara dengan pihak yang berwenang (Sri Sutjiatiningsih, Soegondo Djojopoespito : Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1999:30).
Soegondo Djojopuspito selaku pemimpin kongres, lirik lagu itu sengaja disimpan karena memuat materi yang berpotensi menimbulkan perkara dengan pihak yang berwenang (Sri Sutjiatiningsih, Soegondo Djojopoespito : Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1999:30).
B.
Kontroversi
Tanggal Lahir.
Nama
aslinya Wage Soepratman. Rudolf adalah nama tambahan yang diberikan
seorang pria peranakan Belanda - Indonesia bernama
Willem van Eldik yang menikahi kakak perempuannya, Roekijem. Semasa remaja, Wage memang tinggal bersama kakak sulungnya itu di Makassar, tempat Willem berdinas sebagai tentara. Kapan tepatnya putra daerah Purerejo itu lahir hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut tanggal 9 Maret 1903, tapi sebagian lainnya lebih meyakini bahwa Wage lahir 10 hari setelahnya, yakni 19 Maret (Radix Penadi, Beberapa Catatan Seputar WR Soepratman, 1988:29).
Willem van Eldik yang menikahi kakak perempuannya, Roekijem. Semasa remaja, Wage memang tinggal bersama kakak sulungnya itu di Makassar, tempat Willem berdinas sebagai tentara. Kapan tepatnya putra daerah Purerejo itu lahir hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut tanggal 9 Maret 1903, tapi sebagian lainnya lebih meyakini bahwa Wage lahir 10 hari setelahnya, yakni 19 Maret (Radix Penadi, Beberapa Catatan Seputar WR Soepratman, 1988:29).
Presiden
Mega terlanjur menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional, merujuk pada
tanggal yang akhirnya disepakati sebagai hari kelahiran WR Soepratman. Penelusuran
yang dilakukan oleh Dwi Rahardja, peneliti dan pembuat film
dokumenter Saksi - saksi Hidup Kelahiran Bayi Wage, justru menghasilkan
temuan bahwa sang pencipta lagu “Indonesia
Raya” lahir tanggal 19 Maret 1903. Pendapat ini didukung keluarga
Soepratman, bahkan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada
29 Maret 2007.
"Semua
pihak seharusnya mengikuti ketetapan PN Purworejo. Diharapkan, Hari Musik
Nasional itu dapat segera disesuaikan dengan ketetapan PN Purworejo yang
menyatakan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903,"
kata Dwi Rahardja (Kompas, 15 Maret
2008).
Akan
tetapi, tanggal lahir WS Soepratman yang diabadikan sebagai Hari Musik Nasional
masih diperingati setiap 9 Maret hingga detik ini.
Minat
Wage Soepratman terhadap seni bermula dari Roekijem dan suaminya, Willem van Eldik, yang memang penyuka
musik. Tak jarang, Willem dengan sejumlah teman tentaranya menggelar
pertunjukan teater di mes militer mereka di Makassar. Sejak lulus sekolah dasar
pada 1914, Wage sudah ikut kakak perempuannya itu ke Sulawesi. Lingkungan
seperti inilah yang membuat Wage akrab dengan nada-nada. Ia banyak membaca buku
tentang musik, juga berlatih biola.
Pada
1920, Wage membentuk grup band bernama
Black & White di Makassar yang mengusung aliran jazz. Band ini boleh dibilang salah satu perintis jazz di Indonesia. Saban akhir pekan, Black & White memainkan musik ala Barat itu untuk mengiringi pesta dansa tuan dan nyonya Belanda.
Black & White di Makassar yang mengusung aliran jazz. Band ini boleh dibilang salah satu perintis jazz di Indonesia. Saban akhir pekan, Black & White memainkan musik ala Barat itu untuk mengiringi pesta dansa tuan dan nyonya Belanda.
Tahun
1924, Wage meninggalkan Makassar dan merantau ke Batavia
kemudian ke Bandung. Di kota kembang, ia justru tertarik dengan dunia
jurnalistik. Wage pun bekerja sebagai wartawan di
surat kabar Kaoem Moeda yang pernah dipimpin oleh salah seorang dedengkot pergerakan nasional, Abdoel Moeis. Setelahnya, Wage bekerja untuk surat kabar Sin Po.
surat kabar Kaoem Moeda yang pernah dipimpin oleh salah seorang dedengkot pergerakan nasional, Abdoel Moeis. Setelahnya, Wage bekerja untuk surat kabar Sin Po.
Wage
alias Soepratman juga mulai menulis buku. Salah satu karyanya yang berjudul "Perawan
Desa" disita dan dilarang beredar lantaran dituding bisa
menimbulkan keresahan masyarakat serta dianggap menghina pemerintah kolonial (Anthony Hutabarat, Meluruskan Sejarah
dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman, 2001:84).
Walaupun
sempat menggeluti ranah jurnalistik dan penulisan, tapi bakat bermusik
Soepratman tidak luntur begitu saja. Justru dengan menjadi wartawan dan sering
menulis, pengetahuan dan nalurinya akan musik semakin kuat dan kian berbobot. Suatu
hari, Soepratman membaca artikel di majalah Timboel yang isinya
menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman pun tertantang untuk menulis lirik lagu dalam bahasa Melayu
yang baik. Pada dekade kedua abad ke-20 itu, bahasa Belanda lebih banyak
dipelajari ketimbang bahasa anak negeri sendiri. Soepratman mulai mengulik-ulik
nada dan syair hingga akhirnya terangkailah untaian lirik sarat semangat
nasionalisme dengan balutan aransemen yang menggugah kalbu. Itulah lagu “Indonesia Raya”
yang dirampungkan Soepratman pada 1924, dan pertama kali dirilis ke publik pada penutupan Kongres Pemuda ke - II tanggal 28 Oktober 1928.
yang dirampungkan Soepratman pada 1924, dan pertama kali dirilis ke publik pada penutupan Kongres Pemuda ke - II tanggal 28 Oktober 1928.
Beberapa
hari setelah deklarasi Sumpah Pemuda,
surat kabar Sin Po (tempat di mana Soepratman bekerja sebagai jurnalis) mengulas tuntas tentang kongres tersebut. Bahkan, lirik lagu "Indonesia Raya" dimuat dengan jelas. Sin Po kala itu memang dikenal sebagai koran milik peranakan Tionghoa yang mendukung penuh upaya kemerdekaan bangsa Indonesia. Nama Soepratman pun menjadi buah bibir karena semua orang akhirnya tahu bahwa ia adalah penyusun aransemen serta lirik lagu yang menggugah semangat kebangsaan itu. Terlebih pada 1929, “Indonesia Raya” direkam dalam piringan hitam dan disebarluaskan ke publik (Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia, 2015:6).
surat kabar Sin Po (tempat di mana Soepratman bekerja sebagai jurnalis) mengulas tuntas tentang kongres tersebut. Bahkan, lirik lagu "Indonesia Raya" dimuat dengan jelas. Sin Po kala itu memang dikenal sebagai koran milik peranakan Tionghoa yang mendukung penuh upaya kemerdekaan bangsa Indonesia. Nama Soepratman pun menjadi buah bibir karena semua orang akhirnya tahu bahwa ia adalah penyusun aransemen serta lirik lagu yang menggugah semangat kebangsaan itu. Terlebih pada 1929, “Indonesia Raya” direkam dalam piringan hitam dan disebarluaskan ke publik (Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia, 2015:6).
Soepratman
juga menciptakan beberapa lagu nasionalistik lainnya, termasuk
“Ibu Kita Kartini.” Karya - karya Soepratman saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena bernafaskan semangat perjuangan. Ia kerap diminta menciptakan lagu-lagu mars untuk partai atau organisasi yang memang sedang menjamur saat itu. Di kancah pergerakan, aksi Soepratman kian kuat. Ia pernah bergabung dengan sejumlah partai politik seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno, Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Sartono, hingga Partai Indonesia Raya (Parindra) yang digagas Dr. Soetomo (Oerip Kasansengari, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soepratman Pentjiptanja, 1967:74).
“Ibu Kita Kartini.” Karya - karya Soepratman saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena bernafaskan semangat perjuangan. Ia kerap diminta menciptakan lagu-lagu mars untuk partai atau organisasi yang memang sedang menjamur saat itu. Di kancah pergerakan, aksi Soepratman kian kuat. Ia pernah bergabung dengan sejumlah partai politik seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno, Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Sartono, hingga Partai Indonesia Raya (Parindra) yang digagas Dr. Soetomo (Oerip Kasansengari, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soepratman Pentjiptanja, 1967:74).
Ia
adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat
kebangsaan lewat musik. Di sisi lain, sepak-terjang Soepratman justru
membahayakan dirinya sendiri. Pergerakannya selalu diawasi oleh jejaring
kolonial, bahkan ia menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh polisi
Hindia Belanda ketika itu.
Awal
Agustus 1938, maut semakin dekat mengintai Soepratman usai menciptakan karya
terakhirnya berjudul
“Di Timur Matahari”. Ia ditangkap pada saat menyiarkan lagu tersebut bersama bersama kaum muda di Surabaya. Soepratman pun dikurung di rumah tahanan. WR Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938, tepat 8 tahun sebelum Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan . Ia wafat di usia muda, 35 tahun. Sang penggagas lagu kebangsaan ini rupanya sudah tidak kuat lagi menahan beban sakit yang semakin merapuhkan raganya selama dikejar - kejar aparat kolonial.
“Di Timur Matahari”. Ia ditangkap pada saat menyiarkan lagu tersebut bersama bersama kaum muda di Surabaya. Soepratman pun dikurung di rumah tahanan. WR Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938, tepat 8 tahun sebelum Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan . Ia wafat di usia muda, 35 tahun. Sang penggagas lagu kebangsaan ini rupanya sudah tidak kuat lagi menahan beban sakit yang semakin merapuhkan raganya selama dikejar - kejar aparat kolonial.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment