- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Menelusuri Tradisi Islam di
Nusantara
(Materi Pendidikan Agama Islam dan
Budi Pekerti – SMP Kelas 9 – Halaman 233 s/d 252
Indonesia dikenal
sebagai Negara kepulauan yang memiliki beragam suku, agama, ras dan bahasa
serta budaya. Kekayaan budaya ini tidak terlepas dari factor sejarah bangsa
Indonesia dari masa ke masa. Indonesia pernah mengalami berbagai macam zaman,
seperti Hindu – Budha, Islam, Zaman penjajahan, kemerdekaan, sampai masa
reformasi sekarang ini. Setiap zaman membawa pengaruh tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan di Nusantara.
Perkembangan Islam di
nusantara dari masa ke masa juga menambah khazanah dan kekayaan budaya. Para
mubaligh dan penyebar Islam telah berhasil menanamkan akidah Islamiyah di
Nusantara. Hal ini sekaligus memunculkan dan menumbuhkan kebudayaan baru. Baik
itu budaya sebagai hasil pembauran dengan budaya sebelum Islam, maupun budaya
yang lahir karena adanya nilai – nilai Islam.
Tradisi Islam di
Nusantara ini muncul sebagai akibat ajaran agama yang dipraktikkan dalam
kehidupan sehari – hari. Ajaran Islam akan merasuk kedalam sendi – sendi
kehidupan masyarakat sampai menjadi tradisi dan tata cara hidup. Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat nusantara telah memeluk agama Hindu – Buddha
sehingga penduduk Nusantara telah memiliki budaya, tata cara hidup dan adat
yang mengakar kuat. Tumbuhnya Islam menyebabkan adanya akulturasi budaya.
Kekayaan budaya ini
harus dilestarikan supaya generasi mendatang juga dapat merasakannya. Sikap
positif dalam memandang kekayaan budaya ini perlu dikembangkan. Kekayaan
tradisi dan budaya dipandang sebagai warisan leluhur sekaligus merupakan
titipan dari generasi mendatang.
Upaya pelestarian
budaya ini dapat dilakukan dengan selalu menjaganya dari pengaruh negative
budaya luar. Kita harus menyaring budaya yang bertentangan dengan nilai – nilai
kepribadian bangsa dan Islam. Adapun tradisi dan budaya yang sesuai dengan
kepribadian bangsa dan nilai – nilai Islam dapat diterima dan dikembangkan.
Tiap – tiap daerah atau
provinsi di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang khas. Tradisi dan budaya
pada setiap daerah tersebut perlu diperkenalkan ke dunia luar sebagai kekayaan
budaya bangsa. Hal ini juga dimaksudkan sebagai upaya melestarikan dan
mengembangkan tradisi dan budaya yang telah ada.
1. Tradisi Nusantara Sebelum Islam.
Jauh
sebelum Islam masuk dan berkembang di Nusantara, masyarakat telah memiliki keragaman
budaya dan tradisi. Bahkan, sebelum agama Hindu – Buddha masuk ke Indonesia,
masyarakat telah memiliki kepercayaan kepada benda – benda alam dan ruh nenek
moyang. Kepercayaan kepada benda – benda alam dan ruh nenek moyang ini
berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat. Banyak upacara ritual dilakukan
sebelum melakukan kegiatan tertentu. Misalnya ritual sebelum melaksanakan
hajatan, kelahiran, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Tradisi ini
mereka lakukan turun – temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mereka patuh menjalankan tradisi tersebut karena beranggapan jika terjadi
pelanggaran, akan mendapat kutukan dari arwah nenek moyang yang akibatnya akan
mendatangkan bencana di tengah – tengah masyarakat.
Masuknya
agama Hindu – Buddha ke Indonesia tidak menyebabkan tradisi – tradisi tersebut
musnah, justru makin tumbuh dan berkembang. Hal ini dikarenakan pengaruh agama
Hindu – Buddha menyesuaikan dengan tradisi – tradisi di masyarakat. Bentuk
penyesuaiannya adalah dengan mengubah cara – cara upacara ritual sehingga
sesuai dengan nilai – nilai ajaran Hindu – Buddha.
Masuknya
kebudayaan Hindu – Buddha dari India ke Nusantara melalui proses penyesuaian
dengan kondisi kehidupan masyarakat. Tentu saja penyesuaian ini tanpa
menghilangkan unsur asli budaya di Nusantara. Di antara pengaruh kebudayaan
Hindu – Buddha dalam kebudayaan Indonesia, misalnya tampak pada seni rupa dan
seni ukir. Seni rupa dan seni ukir ini terlihat pada relief dinding – dinding
candi. Sebagai contoh, pada relief Candi Borobudur tampak adanya perahu
bercadik yang merupakan gambaran pelaut nenek moyang bangsa Indonesia. Terdapat
pula relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha sekaligus ada gambaran
lingkungan alam Indonesia.
Pengaruh
kebudayaan Hindu – Buddha juga tampak pada bidang seni bangunan, misalnya pada
bentuk bangunan candi. Di india, candi merupakan kuil untuk memuja para dewa
dengan bentuk stupa. Di Indonesia, candi selain sebagai tempat pemujaan, juga
berfungsi sebagai makam raja atau untuk tempat menyimpan abu jenazah raja yang
telah meninggal. Candi sebagai tanda penghormatan masyarakat terhadap sang
raja.
Di
atas makam sang raja, biasanya didirikan patung raja yang mirip dengan dewa
yang dipujanya. Hal ini sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan
tradisi pemakaman dan pemujaan ruh nenek moyang di Indonesia. Akibatnya, bentuk
bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah punden berundak, yaitu bangunan
tempat pemujaan ruh nenek moyang. Contoh ini dapat dilihat pada bangunan Candi
Borobudur.
2. Akulturasi Budaya Islam.
Akulturasi
merupakan proses percampuran antara unsur kebudayaan satu dengan kebudayaan
yang lain sehingga terbentuk kebudayaan yang baru tanpa menghilangkan sama
sekali ciri khas masing – masing kebudayaan lama. Kedatangan ajaran Islam di
Nusantara juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan Nusantara saat
itu.
Bentuk
budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut tidak hanya bersifat
kebendaan atau material, tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Budaya ini kemudian dikenal dengan istilah budaya Islam. Budaya Islam adalah
segala macam bentuk cipta, rasa dan karsa yang berasal dan berkembang dalam
masyarakat serta telah mendapat pengaruh dari Islam. Budaya dalam pandangan
Islam adalah sebuah tata nilai dan tradisi yang berkembang dari ajaran Islam.
Tata nilai tersebut merupakan hasil penerjemahan dari pokok – pokok ajaran al –
Qur’an dan hadits dalam kehidupan nyata. Tradisi Islam adalah kebiasaan atau
adat istiadat yang dilakukan turun – temurun oleh masyarakat dan di dalamnya
mengandung ajaran – ajaran Islam.
Islam
sesungguhnya membuka diri terhadap budaya – budaya dari luar Islam. Islam
mempersilahkan siapapun untuk berpendapat, mengemukakan ide dan gagasan ataupun
menciptakan budaya tertentu, asalkan sesuai prinsip – prinsip sebagai berikut :
a. Tidak
melanggar ketentuan hokum halal – haram.
b. Mendatangkan
mashlahat (kebaikan) dan tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan).
c. Sesuai
dengan prinsip al – Wala’ (kecintaan yang hanya kepada Allah SWT dan apa saja
yang dicintai Allah SWT) dan al – Bara’ (berlepas diri dan membenci dari apa
saja yang dibenci oleh Allah SWT).
Ketiga
prinsip di atas menjadi pedoman baku bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan
budaya – budaya lain di luar Islam. Berlandaskan ketiga prinsip tersebut, akan
lahir sebuah kebudayaan Islam yang memiliki ciri khusus, yaitu budaya yang
berasaskan tauhid kepada Allah SWT. Kita dipersilahkan untuk berinteraksi
maupun mengambil manfaat dari budaya bangsa – bangsa lain, selama ketiga
prinsip di atas tidak dilanggar.
Kesenian
termasuk dalam unsur kebudayaan, sebab perwujudan dari kebudayaan tidak
terlepas dari hasil olah piker dan perilaku manusia lewat bahasa, pergaulan dan
organisasi social. Kesenian merupakan salah satu media paling mudah diterima dalam
penyebaran Islam. Salah satu buktinya adalah penyebaran Islam dengan
menggunakan media wayang kulit dan gamelan seperti yang dilakukan Sunan
Kalijaga.
Berikut
ini adalah seni budaya Nusantara yang telah mendapatkan pengaruh dari ajaran
Islam.
a.
Nama
– Nama Bulan dalam Penanggalan Jawa.
Masuknya Islam ke Indonesia, membawa
pengaruh pada system penanggalan. Islam menggunakan kalender hijriah yang
berpatokan pada perputaran bulan. Bentuk akulturasi antara penanggalan Islam
dan penanggalan Jawa dapat terlihat pada penamaan bulan sebagai berikut :
No
|
Nama Bulan dalam Islam
|
Nama Bulan dalam Penanggalan Jawa
|
1
|
Muharram
|
Sura
|
2
|
Safar
|
Sapar
|
3
|
Rabiul Awwal
|
Mulud
|
4
|
Rabiul Akhir
|
Bakda Mulud
|
5
|
Jumadil Awal
|
Jumadil Awal
|
6
|
Jumadil Akhir
|
Jumadil Akhir
|
7
|
Rajab
|
Rejeb
|
8
|
Sya’ban
|
Ruwah
|
9
|
Ramadhan
|
Pasa
|
10
|
Syawal
|
Syawal
|
11
|
Zulqaidah
|
Apit
|
12
|
Zulhijjah
|
Besar
|
b.
Seni
Bangunan Masjid.
Wujud akulturasi terlihat dalam bangunan
masjid kuno, yaitu dilihat dari bentuk bangunan, menara dan letak masjid.
Kebanyakan bentuk bangunan masjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk bujur
sangkar. Selain itu, atap masjid berbentuk tumpang. Atap tersebut tersusun
keatas makin kecil dan tingkat teratas disebut limas. Jumlah tumpang biasanya
gasal. Bentuk masjid seperti ini disebut dengan meru. Bentuk tumpang ini
merupakan akulturasi dengan Hindu, dimana pura milik orang Hindu berbentuk
tumpang. Bentuk atap ini sangat berbeda dengan masjid – masjid di Timur Tengah.
Menara berfungsi sebagai tempat menyerukan
azan. Bentuk akulturasi ini terlihat pada menara Masjid Kudus yang terbuat dari
Terakota yang tersusun seperti candi. Di Banten bentuk menara menyerupai
mercusuar di Eropa.
Selain bentuk masjid dan menara, letak
masjid juga memiliki ciri khusus. Kebanyakan masjid di Indonesia terletak di
sebelah barat alun – alun istana atau keratin. Selain itu, masjid juga
diletakkan dekat dengan makam, terutama makam raja – raja.
c.
Seni
Ukir dan Kaligrafi.
Seni ukir yang dimaksud adalah seni ukir
hias untuk hiasan masjid, bangunan makam di bagian jirat, nisan, cungkup dan
tiang cungkup. Seni ukir hias ini antara lain berupa dedaunan, motif bunga
(teratai), bukti – bukti karang, panorama alam dan ukiran kaligrafi. Kaligrafi
adalah seni menulis indah dengan merangkaikan huruf – huruf Arab atau ayat suci
al – Qur’an, hadis, asma Allah SWT, shalawat maupun kata – kata hikmah sesuai
dengan bentuk yang diinginkan. Kaligrafi Islam sering disebut dengan istilah
khat. Kaligrafi sebagai motif hiasan dapat dijumpai di masjid – masjid kuno,
seperti ukir – ukiran yang terdapat pada masjid di Jepara dan sekitarnya.
Bahkan, masjid – masjid sekarang juga banyak dijumpai tulisan kaligrafi,
seperti pada bagian dalam dan luar masjid, dinding, mimbar, bahkan di tiang –
tiangnya.
d.
Seni
Tari.
Di beberapa daerah di Indonesia,
terdapat bentuk – bentuk tarian yang berkaitan dengan bacaan shalawat. Misalnya
pada seni rebana diikuti dengan tari – tarian zipin, bacaan shalawat dengan
menggunakan lagu – lagu tertentu. Tari Zapin adalah sebuah tarian yang
mengiringi music qasidah dan gambus. Tari Zapin diperagakan dengan gerak tubuh
yang indah dan lincah. Music yang mengiringinya berirama padang pasir atau
daerah Timur Tengah. Tari Zapin biasa dipentaskan pada upacara atau perayaan
tertentu misalnya : khitanan, pernikahan dan peringatan hari besar Islam
lainnya. Di samping Tari Zapin, ada tari Seudati dari Aceh. Tarian ini sering
disebut Tari Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan
orang – orang besar. Disebut sebagai Tari Saman karena mula – mula permainan
ini dimainkan oleh delapan orang. Saman berasal dari bahasa Arab yang artinya
delapan. Dalam Tari Seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu yang berupa
shalawat.
e.
Seni
Musik.
Kebudayaan Islam kita juga mengenal seni
music berupa rebana, hadrah, kasidah, nasyid dan gambus yang melantunkan lagu –
lagu dengan syair Islami.
Hadrah adalah salah satu jenis alat
music yang bernapaskan Islam. Lagu – lagu yang dibawakan adalah lagu bernuansa
Islami, yaitu tentang pujian kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabi SAW.
Pada zaman sekarang, kesenian hadrah biasanya hadir ketika acara pernikahan,
akikahan atau sunatan.
Kasidah merupakan suatu jenis seni suara
yang menampilkan nasihat – nasihat keislaman. Lagu dan syairnya banyak
mengandung dakwah Islamiyah yang berupa nasihat – nasihat. Shalawat kepada Nabi
dan do’a – do’a. biasanya, kasidah diiringi dengan music rebana. Sejarah
pertama kali penggunaan music rebana adalah ketika Nabi Muhammad SAW hijrah
dari Mekah menuju Madinah. Sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW disambut
dengan meriah di Madinah dengan lantunan music rebana.
f.
Seni
Pertunjukkan.
Seni pertunjukkan wayang kulit merupakan
perpaduan kebudayaan Jawa dan unsur keislaman. Bagi orang Jawa, wayang bukan
hanya sebagai tontonan, tetapi juga wejangan (nasihat – nasihat) karena sarat
dengan pesan – pesan moral yang menjadi filsafat hidup orang Jawa. Pertunjukkan
wayang diiringi oleh seperangkat alat music gamelan.
Wayang pada mulanya dibuat dari kulit
kerbau, hal ini dimulai pada zaman Raden Patah. Dahulunya, lukisan seperti
bentuk manusia, kemudian para wali mengubah bentuknya. Dari yang semula lukisan
wajahnya menghadap lurus, kemudian agak dimiringkan. Sumber cerita dalam
mementaskan wayang diilhami dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Tentunya, para
Wali mengubahnya menjadi cerita – cerita keislaman sehingga tidak ada unsur
kemusyrikan di dalamnya. Salah satu lakon yang terkenal dalam pewayangan ini
adalah Jimas Kalimasada yang dalam Islam diterjemahkan menjadi Jimat Kalimat
Syahadat.
g.
Seni
Sastra.
Seni sastra yang berkembang pada zaman
Islam umumnya berkembang di daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di
Jawa. Ditinjau dari corak dan isinya, kesusastraan zaman Islam dibagi menjadi
beberapa jenis. Meskipun pembagian itu tidak dapat dilakukan secara tegas sebab
sering terjadi suatu naskah dapat dimasukkan kedalam dua golongan sekaligus.
Jenis – jenis karya sastra yang sesuai dengan ajaran Islam diantaranya sebagai
berikut :
1.
Babad.
Babad adalah dongeng yang sengaja diubah
sebagai cerita sejarah. Dalam babad, tokoh, tempat dan peristiwa hamper semua
ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan secara berlebihan. Babad
merupakan campuran antara fakta sejarah, mitos dan kepercayaan. Contohnya Babad
Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, Babad Surakarta, Babad Giyanti dan
babad Pakepung.
Di daerah Melayu, babad dikenal dengan
nama sejarah sarasilah (silsilah) atau tambo, yang juga diberi judul hikayat. Contohnya
; Tambo Minangkabau, Hikayat Raja – raja Pasai dan Hikayat sarasilah Perak.
2.
Hikayat.
Hikayat adalah cerita atau dongeng yang
biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan. Tidak jarang hikayat berpangkal
pada tokoh – tokoh sejarah atau peristiwa yang benar – benar terjadi. Hikayat
yang terkenal adalah Hikayat Raja – raja Pasai, Hikayat 1001 Malam, Hikayat
Bayan Budiman dan lain – lain.
3.
Suluk.
Suluk adalah kitab – kitab yang
menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik karena sifatnya
pantheisme, yaitu menjelaskan tentang bersatunya manusia dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo Lan Gusti). Pujangga – pujangga kerajaan dan para wali
yang menghasilkan karya – karya sastra jenis suluk adalah seperti di bawah ini
;
a.
Sunan
Bonang
Mengembangkan ilmu suluk dalam bentuk
puisi yang dibukukan dalam Kitab Bonang.
b.
Hamzah
Fansuri.
Menghasilkan karya sastra dalam bentuk
puisi yang bernafaskan keislaman, misalnya Syair Perahu dan Syair Dagang.
c.
Syekh
Yusuf,
Seorang ulama Makassar yang diangkat
sebagai pujangga di Kerajaan Banten, berhasil menulis beberapa buku tentang
Tasawuf.
h.
Kesenian
Debus.
Kesenian Debus difungsikan sebagai alat
untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah. Debus
merupakan seni bela diri untuk memupuk rasa percaya diri dalam menghadapi
musuh. Kesenian ini mempertunjukkan aksi kekebalan tubuh terhadap benda – benda
tajam. Filosofi dari kesenian ini adalah kepasrahan kepada Allah SWT yang
menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya.
3. Melestarikan Tradisi Islam di
Nusantara.
Tradisi
adalah atau adat istiadat yang dilakukan turun – temurun oleh masyarakat. Sebagaimana
diketahui bahwa sebelum Islam dating, masyarakat Nusantara sudah mengenal
berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi local. Melalui kehadiran
Islam, kepercayaan dan tradisi di Nusantara tersebut membaur dan dipengaruhi
nilai – nilai Islam. Karenanya, muncullah tradisi Islam Nusantara sebagai
bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi local Nusantara. Tradisi
Islam di Nusantara digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu. Para
ulama tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat.
Mereka memasukkan ajaran – ajaran Islam kedalam tradisi tersebut, dengan
harapan masyarakat tidak merasa kehilangan adat dan ajaran Islam dapat
diterima.
Seni
budaya, adat dan tradisi yang bernapaskan Islam, tumbuh dan berkembang di
Nusantara. Tradisi ini sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara.
Untuk itulah kita sebagai generasi muda Islam harus mampu merawat,
melestarikan, mengembangkan dan menghargai hasil karya para ulama terdahulu.
Mengingat zaman modern sekarang ini, ada sebagian kelompok yang mengharamkan
tradisi beralasan pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada. Mereka yang
membolehkan dengan dasar bahwa tradisi tersebut digunakan sebagai sarana dakwah
dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita sebagai generasi penerus
Islam harus bijaksana dalam menyikapi tradisi tersebut. Memang, harus diakui
ada tradisi – tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Tradisi seperti ini harus
kita tolak dan buang supaya tidak ditiru oleh generasi berikutnya.
Para
ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi – tradisi
tersebut dengan sangat matang, baik dari segi madharat – mafsadat maupun halal
– haramnya. Mereka sangat paham hokum agama sehingga tidak mungkin mereka
menciptakan tradisi tanpa pertimbangan – pertimbangan tersebut.
Banyak
sekali tradisi atau budaya Islam yang berkembang hingga saat ini. Semuanya
mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing – masing. Berikut ini adalah
beberapa tradisi atau budaya Islam dimaksud.
a.
Halal
Bihalal.
Halal Bihalal dilakukan pada Bulan
Syawal, berupa acara saling bermaaf – maafan. Setelah umat Islam selesai puasa
Ramadhan sebulan penuh, dosa – dosanya telah diampuni oleh allah SWT. Namun,
dosa kepada sesame manusia belum akan diampuni Allah SWT jika belum mendapat
kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, tradisi halal
bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang
pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian). Tradisi ini erat
kaitannya dengan perayaan Idul Fitri.
Tujuan halal bihalal selain saling
bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali
persaudaraan. Sampai saat ini, tradisi ini masih dilakukan di semua lapisan
masyarakat. Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana kepresidenan. Bahkan,
acara halal bihalal sudah menjadi tradisi nasional yang bernapaskan Islam.
Istilah halal bihalal berasal dari
bahasa Arab (halla atau halal), tetapi tradisi halal bihalal itu sendiri adalah
tradisi khas bangsa Indonesia, bukan berasal dari Timur Tengah. Bahkan, bisa
jadi ketika arti kata ini ditanyakan kepada orang arab, mereka akan kebingungan
dalam menjawabnya.
Halal bihalal sebagai sebuah tradisi
khas Islam Indonesia, lahir dari sebuah proses sejarah. Tradisi ini digali dari
kesadaran batin tokoh – tokoh umat Islam masa lalu untuk membangun hubungan
yang harmonis (silaturahim) antar umat. Dengan acara halal bihalal, pemimpin
agama, tokoh – tokoh masyarakat dan pemerintah akan berkumpul saling berinteraksi
dan saling bertukar informasi. Komunikasi ini akan mempererat kekeluargaan dan
dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Pada acara halal bihalal, semua orang
mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Hal ini mengandung maksud bahwa ketika
secara lahir, telah memaafkan yang ditandai dengan berjabat tangan atau
mengucapkan kata maaf, batinnya juga harus dengan tulus memaafkan dan tidak
lagi tersisa rasa dendam dan sakit hati.
b.
Tabot
atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik adalah upacara
tradisional masyarakat Bengkulu dan Padang untuk mengenang kisah kepahlawanan
dan kematian Hasan dan Husen bin ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW ini
gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharram 61 hijriah
(681 M). perayaan di Tabot atau Tabuik pertama kali dilaksanakan oleh Syaik
Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaikh
Burhanuddin menikah dengan wanita Bengkulu, kemudian keturunannya disebut
sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram
(berdasar Kalender Islam) setiap tahun.
Istilah Tabot berasal dari kata Arab,
“Tabut” yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan
tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga
kuat tradisi ini dibawa oleh para tukang yang membangun benteng Marlborough
(1718 – 1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh
inggris dari madras dan Bengali di bagian selatan india.
c.
Kupatan
(Bakdo Kupat).
Di Pulau Jawa, bahkan sudah berkembang
ke daerah – daerah lain, terdapat tradisi Kupatan. Tradisi membuat kupat ini
biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya idul fitri. Biasanya, masyarakat
berkumpul di suatu tempat seperti Mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan
dengan hidangan yang didominasi kupat (Ketupat). Kupat merupakan makanan yang
teruat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning (daun
Kelapa yang masih muda). Sampai saat ini, ketupat menjadi mascot hari raya idul
Fitri.
Ketupat memang sebagai makanan khas
lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar sajian pada hari kemenangan, tetapi
punya makna mendalam dalam tradisi Jawa. Oleh para Wali, tradisi membuat kupat
itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama. Oleh sebagian besar masyarakat,
kupat juga menjadi singkatan atau di – jarwo dhodok – kan menjadi rangkaian
kata yang sesuai dengan momennya yaitu lebaran. Kupat adalah singkatan dari
ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi symbol untuk saling memaafkan.
d.
Sekaten
di Surakarta dan Yogyakarta.
Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap
tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini
dilaksanakan dan dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa – jasa para wali
songo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah jawa. Peringatan yang
lazim dinamai maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal
dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat). Tradisi ini sebagai sarana
penyebaran agama islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu,
setiap kali Sunan Bonang membunyikan gamelan, diselingi dengan lagu – lagu yang
berisi ajaran Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan
membaca syahadatain.
Jadi, sekaten diadakan untuk
melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sebagai tuntunan bagi umat manusia, diharapkan masyarakat yang dating ke
Sekaten juga mempunyai motivasi untuk mendapatkan berkah dan meneladani nabi
Muhammad SAW.
Dalam upacara Sekaten tersebut,
disuguhkan gamelan pusaka peninggalan dinasti majapahit yang telah dibawa ke
Demak. Suguhan ini sebagai pertanda bahwa dalam berdakwah, para wali
mengemasnya dengan menjalin kedekatan kepada masyarakat.
e.
Grebeg.
Grebeg merupakan tradisi untuk
mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan
sultan hamengku Buwana ke – 1 oleh Keraton Yogyakarta. Grebeg dilaksanakan saat
sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebeg di
Yogyakarta diselenggarakan 3 kali dalam
setahun.
1. Pertama.
Grebeg Pasa – Syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk
menghormati bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr.
2. Kedua.
Grebeg Besar, diadakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah untuk merayakan hari raya
Kurban.
3. Ketiga.
Grebeg Maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid
nabi Muhammad SAW.
Selain kota Yogyakarta yang
menyelenggarakan pesta Grebeg adalah Solo, Cirebon dan Kota Demak.
f.
Grebeg
Besar di Demak.
Tradisi Grebek Besar merupakan upacara
tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Tradisi
ini dilaksanakan pada tanggal 10 dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari
raya Idul Adha atau Idul Kurban. Tradisi ini cukup menarik karena Demak
merupakan pusat perjuangan Wali songo dalam dakwah.
Pada awalnya, Grebeg Besar dilakukan
tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk
memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak. Masjid
ini didirikan oleh wali Songo pada tahun 1399 Caka, bertepatan 1477 Masehi.
Tahun berdirinya masjid ini tertulis pada bagian Candra sengkala “Lawang
Trus Gunaning Jarimo”.
Pada tahun 1428, tertulis dalam caka
tersebut, Sunan Giri meresmikan penyempurnaan Masjid Demak. Tanpa diduga,
pengunjung yang hadir sangat banyak. Kesempatan ini kemudian digunakan para
wali untuk melakukan Dakwah Islam. Jadi, tujuan semula Grebeg Besar adalah
untuk merayakan hari raya Kurban dan memperingati peresmian Masjid Demak.
g.
Kerobok
Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado.
Di kawasan Kedaton Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur, juga diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok
Maulid. Istilah Kerobok berasal dari bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau
berkerumun oleh orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman
Masjid Jami’ Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awwal.
Kegiatan Kerobok Maulid ini diawali
dengan pembacaan Barzanji di Masjid Jami’Hasanuddin Tenggarong. Kemudian, dari
Keraton Sultan Kutai, puluhan prajurit Kesultanan akan keluar dengan membawa
usung – usungan yang berisi kue tradisional, puluhan bakul Sinto atau bunga
Rampai dan Astagona.
Usung – usungan ini kemudian dibawa
berkeliling antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir di Masjid Jami’
Hasanuddin. Kedatangan prajurit Keraton dengan membawa Sinto, Astagona dan kue
– kue di Masjid Hasanuddin ini akan disambut dengan pembacaan Asrakal yang
kemudian membagi – bagikannya kepada warga masyarakat yang ada di dalam masjid.
Akhir dari upacara Kerobok ini ditandai demgan penyampaian hikmah Maulid oleh
seorang ulama.
Lain di Kutai, lain pula di Manado.
Untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW warga muslim di Kota Manado,
Sulawesi Utara, menggelar tradisi pawai obor. Obor yang dibawa berpawai oleh
ribuan warga membuat jalan – jalan di Kota Manado terang. Bagi warga muslim
setempat, pawai obor sudah jadi tradisi dan dilaksanakan turun – temurun
sebagai symbol penerangan. Lebih lanjut, symbol penerangan itu bermakna bahwa
kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah membawa ajaran yang menjadi cahaya penerang
iman saat manusia hidup dalam kegelapan dan kemusyikan.
h.
Tradisi
Rabu Kasan di Bangka.
Tradisi Rabu Kasan dilaksanakan di
Kabupaten Bangka setiap tahun, tepatnya pada hari rabu terakhir bulan Safar.
Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari Kara Rabu
Pungkasan (terakhir).
Upacara Rabu Kasan sebenarnya tidak
hanya dilakukan di Bangka saja, tetapi juga di daerah lain, seperti di Bogor
Jawa Barat dan Gresik Jawa Timur. Pada dasarnya maksud dari tradisi ini sama,
yaitu untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari Bala’ (musibah dan
bencana).
Di kabupaten Bangka, tradisi ini
dipusatkan di desa Air Anyer, kecamatan Merawang. Sehari sebelum upacara Rabu
Kasan di Bangka diadakan, semua penduduk telah menyiapkan segala keperluan
upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air wafak dan makanan untuk
dimakan bersama pada hari rabu esok hari.
Tepat pada hari Rabu Kasan, kira – kira
pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di tempat upacara dengan membawa
makanan dan ketupat tolak bala sebanyak jumlah keluarga masing – masing. Acara
diawali dengan berdirinya seseorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar
lalu mengumandangkan azan. Lalu disusul dengan pembacaan doa bersama – sama.
Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau melepaskan anyaman ketupak tolak
balak yang telah tersedia tadi, satu per satu menurut jumlah yang dibawa sambil
menyebut nama keluarganya masing – masing.
Kemudian dilanjutkan dengan acara makan
bersama. Setelah itu, masing – masing pergi mengambil air wafak yang telah
disediakan untuk semua anggota keluarganya. Setelah selesai acara ini, mereka
pulang dan bersilaturahmi ke rumah tetangga atau keluarganya.
i.
Dugderan
di Semarang.
Tradisi Dugderan merupakan tradisi khas
yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Dugderan
dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa. Dugderan biasanya diawali
dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang.
Ritual Dugderan akan dilaksanakan
setelah salat Ashar yang diawali dengan musyawarah untuk menentukan awal bulan
Ramadhan yang diikuti oleh para ulama. Hasil musyawarah itu kemudian diumumkan
kepada khalayak. Sebaik tanda dimulainya berpuasa, dilakukan pemukulan bedug.
Hasil musyawarah ulama yang telah dibacakan itu kemudian diserahkan kepada
Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu, Kanjeng Bupati Semarang (Walikota
Semarang) dan Gubernur bersama – sama memukul bedug kemudian diakhiri dengan
doa.
j.
Budaya
Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk
pauknya dalam bentuk kerucut. Nasi tumpeng umumnya berupa nasi kuning atau nasi
uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan
biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting.
Meskipun demikian, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa
Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan
dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk
dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang dituakan dari orang – orang
yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang
tersebut. Saat ini, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi nasional bangsa
Indonesia.
Materi Pendidikan agama Islam dan Budi Pekerti
Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara
SMP Kelas 9 – Halaman 233 s/d 252
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment